Senja perlahan menghampiri langit
barat, memancarkan warna merah saga, temaramnya menyelimuti segala penjuru
Hastina Pura. Pendaran cahayanya memenuhi relung-relung pegunungan, menghias
pantai-pantai, menyertai desiran angin dan suara hempasan ombak membelai batu
karang. Sementara di kejauhan perahu layar merayapi cakrawala dan melintasi
irisan matahari di atas kilauan air laut.
Sengkuni pun tahu senja indah
ini, senja yang paling indah sepanjang Hastina melewati masanya, tapi Sengkuni
juga tahu seindah apapun senja akan berakhir dalam keremangan menyedihkan.
Ketika segala makhluk dan benda menjadi siluet, lantas menyatu dalam kegelapan.
Semua tahu bahwa selalu berakhir seperti itu, dan Sengkuni hanya bisa terdiam
di samping rumah dinasnya.
Sengkuni yang malang. Bukankah
dulu sekali pernah kukatakan padamu tenyang senja indah, kugambarkan dalam
cerita, dan aku selalu mengulangnya setiap kali kita bertemu. Dan kamu katakan
telah mengobati luka hatimu dengan cerita senja. Hari ini kamu ratapi senja
indah itu, senja yang berlalu meninggalkanmu dalam luka menganga.
Sengkuni yang malang. Dan semakin
malang. Tahukah kamu semua orang mengenalmu? Tentu saja kamu tidak tahu, bagaimana
kamu tahu, dunia ini terlalu aneh bagimu, terlalu luas, terlalu jauh untuk
dijangkau oleh kaki tuamu. Ya. Kamu kini telah tua. Kamu bukan Sengkuni yang
muda ceria, Sengkuni dengan cita-cita menggapai langit keemasan, dan kamu tidak
tahu sesungguhnya langit tidak berwarna keemasan.
Sengkuni yang malang. Aku baru
tiba di negeri antah berantah. Negeri yang jauh. Negeri yang modern. Di sini
sangat berbeda dengan di Hastina, jalanan lebar beraspal, mobil mewah
berseliweran, bukan VW tua seperti punyamu, atau cikar dengan sapi Benggala
kebanggaanmu. Mungkin kamu akan merasa takjub atau merasa aku hanya membual, di
sini kereta kencana tidak ditarik kuda, bahkan kereta kencana di sini terbang
jauh ke awang-awang. Raja di sini selalu tersenyum, menebar tawa pada setiap
kesempatan. Tidak seperti Duryudana keponakanmu. Aku tidak perlu
menggambarkanya bukan? Toh kamu sudah tahu sendiri tentang keponakanmu. Tapi di
sini selalu bergejolak, bursa efek anjlok jika raja hadir tanpa senyuman. Ini
jauh berbeda dengan Hastina bukan? Meski Duryudana kadang mabuk, rakyat tidak
menghujatnya bahkan mereka masih rela sebo
menunggu meski sang raja sedang teler.
Di sini raja harus sering minum
jamu bukan arak, bukan ciu. Raja harus sering blusukan. Mungkin kamu akan
tertawa mengejek, di Hastina hanya garangan dan luwak yang suka blusukan.
Jangan bandingkan dengan Duryudana. Raja dan rakyat di sini juga sama ditempat
kita: hanya saja kita mabuk ciu, arak, bir dan konco-konconya, suatu hari aku
mereka juga mabuk, bukan karena ciu tapi karena mabuk keadaan.
Sengkuni yang malang. Sengkuni
yang terkenal. Di sini kamu begitu terkenal. Entahlah? Mereka lebih mengenalmu,
bahkan lebih daripada bagaimana aku mengenalmu. Aku kira satu dari mereka
adalah kawan akrabmu waktu SD, rumah kalian bersebelahan, mandi di sungai yang
sama, bahkan malamnya pasti belajar bersama. Tentunya masih kamu ingat
bagaimana nilaimu selalu jeblok setiap pelajaran matematika. Aku tidak tahu
bagaimana itu terjadi, dan aku hanya mendengar cerita dari nenekku yang pernah sekelas
denganmu.
Oh ya Sengkuni yang malang. Orang
yang ku kira temanmu di sini memiliki profesi yang unik, dia hanya bercerita
sambil bernyanyi, memainkan boneka yang jumlahnya ratusan. Di belakangnya
seperangkat bunyi-bunyian dipukul begitu rupa dan menggemalah suaranya. Aku
kira alat itu punya kekuatan ghaib, bahkan lebih sakti dari adik sepupu
keponakanmu. Pandawa. Begitu dipukul maka berduyun-duyun orang dating.
Mendengarkan temanmu berteruak, bernyanyi. Dan kamu adalah orang yang paling
ditunggu ceritanya.
Blekutuk… blekutuk……. Blekutuk……
Hewez… hewezz…. Hewezzz……
Lantang mereka bersorak saat kamu
muncul, menari gemulai, membanting dadu, mengkompori Kurawa mengikuti
pertarungan.
Blekutuk… blekutuk…… blekutuk……
Hewezz…. Hewezzz….. hewezzz………
Ah Sengkuni. Nyatanya kamu
semakin malang. Mungkin tidak pantas ku ceritakan bagaimana Kurawa selalu
meraih juara ketika lomba makan kerupuk, lomba makan hot dog, makan mie instan.
Gemuruh sorak Citraksi cempreng, menggelegar sorak Dursusana si Werkudara
Hastina. Atau bagaimana Togog tanpa susah payah menghabiskan sebaskom onde-onde
dalam sekali makan.
Aku duduk menonton di
tengah-tengah penonton berjubel. aku melihat Aswatama munduk-munduk menerima pialanya.
Sengkuni yang tetap malang. Aku
ingin berteriak memaki tukang cerita yang ku kira temanmu. Mengapa dia tega
menggambarkanmu sedemikian rupa. Apakah benar dia temanmu. Teman sejati.
Ataukah teman yang pernah kamu sakiti kemudian balas dendam.
Sengkuni yang malang. Kamu di
sini semakin terkenal. Tapi aku berpura-pura tidak mengenalmu. Kini tukang
cerita yang ku kira temanmu mengisahkan Pandawa. Semua orang takjub, terdiam,
menutup mata, merasakan masuk ke dunia yang Pandawa. Tidak ada seorangpun
berteriak menghina ketika Arjuna, si Parta yang raben itu muncul. Seorang
bapak-bapak di sampingku sampai merem melek. Mungkin dia begitu menghayati
cerita Pandawa atau dia membayangkan dirinya adalah Arjuna bercengkerama dengan
istrinya.
Sengkuni yang malang. Tentu kamu
akan protes. Aku di sini baru sebentar sudah menduga-duga hati bapak di
sampingku. Seolah aku adalah Tuhan yang tahu isi hati orang. Mungkin di dunia
kita aku bukanlah orang yang sakti, tapi di sini orang-orang begitu saktinya.
Mereka punya jimat pamelingan yang bisa memanggil orang di antah berantah. Tidak
perlu bertapa, tidak perlu laku tirakat, tidak perlu puasa. Cukup membawa
lembaran bergambar aneh mereka mendapatkanya. Jangan ceritakan ini pada Kurawa,
aku takut saat nanti kembali mereka memintaku membawanya ke negeri ini.
Sengkuni yang malang. Aku bukanlah
paman seperti kamu, aku bukan guru, aku bukan orator, aku bukan politisi, bukan
ahli taktik, bukan orang yang cerdik. Dan hanya kamu yang bisa mengendalikan
Kurawa. Aku takut jika mereka ke sini membuat kekacauan. Di sini serba aneh.
Bahkan Kurawa yang aneh masih lebih aneh orang-orang di sini.
Sengkuni yang malang. Semua
berharap Kurawa segera binasa. Ya. Aku tahu dari sorot mata penonton. Dan aku
yakin cerita telah berulang-ulang disampaikan dan Kurawa selalu berakhir
binasa.
Blekutuk…. Blekutuk…. Blekutuk…..
Hewezzz… hewezzzz…. Hewezzz…..
Klepeks….. klepeks…… klepeks…………
Semua anak didikmu binasa. Dan
Destrarata menganggapmu pengecut.
Dan kamu pun akhirnya berakhir
binasa.
Sengkuni yang malang. Dan akan
selalu malang.
Ketenaranmu semakin menjadi dan
kematianmu bukanlah akhir ceritamu. Mereka mengenangmu untuk sekedar memakimu,
mencacimu.
Apakah mereka mengenalmu?
Tidak.
Bahkan tukang cerita yang ku kira
temanmu bukanlah temanmu dan sama sekali tidak mengenalmu. Dia hanya membaca
ceritamu, mendengar ceritamu menjelang tidur, saat jati dirimu diceritakan dia
telah tertidur.
Sengkuni yang malang. Maafkan aku
hanya bisa bercerita. Aku tidak bisa mengubah cerita tentangmu, tukang cerita
yang ku kira temanmu lebih dipercaya orang di negeri ini. Mungkin suatu saat
nanti tukang cerita yang ku kira temanmu akan ku ajak datang ke negeri kita.
Dan mungkin itu tidak akan merubah ceritamu karena kamu sudah tiada dan
semuanya akan tiada.
Tapi sengkuni yang malang. Selalu
malang. Entahlah? Aku ini temanmu atau bukan? Di mataku kamu adalah orang yang
malang. Bahkan saat aku di sini masih menganggapmu orang yang malang. Dan tukang
cerita yang kuanggap temanmu masih menceritakan tentang dirimu yang malang.
Blekutuk… blekutuk,,,,
blekutuuuuk……..
Hewez… hewez…. Hewez……
Blekutuk…..
Hewez…
Ketika Pandawa menghajarmu
seluruh penonton ber-standing aplaus, bersorak. Bergembira merayakan kematianmu
dalam cerita yang diceritakan tukang cerita tentang cerita dirimu, cerita
Sengkuni yang malang.
Hewez.
Hewez.
Blekutuk.
Blekutuk.
Klepeks…. Klepeks…..
Sengkuni yang malang pun berakhir
untuk kesekian kali.
Klepeks….. Kruntel……..